Kegiatan seminar di Unimed, Sabtu (10/9).
MEDAN,Brigjen Pol (Purn) Victor Edison Simanjuntak mengingatkan bahaya radikalisme yang justru mulai merusak generasi muda bangsa Indonesia.
Hal itu dia sampaikan saat menjadi narasumber dalam seminar yang digelar di Universitas Negeri Medan (Unimed) yang digelar Sabtu (10/9).
Dia menyebut, bangsa ini awal tahun 2016 dihebohkan dengan ledakan bom Kamis, 14 Januari 2016 lalu, peristiwa tersebut terjadi dan berawal dari sebuah ledakan di depan Pos Polisi Sarinah dan gerai kopi Starbuck.
Kemudian baru-baru ini, terjadi juga aksi teror bom bunuh diri pada hari Minggu, 28 Agustus lalu di gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Jalan Dr Mansyur.
Peristiwa teror bom tersebut ironisnya dilakukan oleh anak-anak muda, seperti kejadian di Thamrin tersebut oleh pemuda berusia 20-30 tahun, bahkan pelaku di Medan masih berusia 18 tahun.
Serangkaian aksi terorisme sebelumnya mulai dari bom Bali 1, bom Gereja Kepunton, bom di JW Marriot dan hotel Ritz-Carlton, hingga aksi penembakan pos Polisi Singosaren di Solo dan bom di Beji dan Tambora misalnya juga melibatkan pemuda.
"Di sisi lain kita mengetahui bahwa pemuda adalah aset bangsa yang sangat berharga. Masa depan negeri ini bertumpu pada kualitas mereka. Namun kenyataannya kini tak sedikit kaum muda yang justru menjadi pelaku terorisme," kata dia.
Fakta di atas, kata Victor diperkuat oleh berbagai kajian dan riset yang dilakukan terkait radikalisme dan terorisme di Indonesia. Misalnya, riset oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) di kalangan siswa dan guru pendidikan agama Islam (PAI) di Jabodetabek pada Oktober 2010-Januari 2011.
Lakip menemukan sedikitnya 48,9 persen siswa menyatakan bersedia terlibat dalam aksi kekerasan terkait dengan agama dan moral. Bahkan yang mengejutkan, belasan siswa menyetujui aksi ekstrem bom bunuh diri dalam aksi terorisme. Kemudian Setara Institute dalam kajiannya menemukan bahwa satu dari 14 siswa di Jakarta dan Bandung setuju atas keberadaan Islamic State (IS).
Sebelumnya, riset Maarif Institute pada 2011 tentang pemetaan problem radikalisme di SMU negeri di empat daerah, Pandeglang, Cianjur, Yogyakarta, dan Solo yang mengambil data dari 50 sekolah, mengkonfirmasi fenomena tersebut.
Menurut riset ini, sekolah menjadi ruang yang terbuka bagi diseminasi paham apa saja. Karena pihak sekolah terlalu terbuka, kelompok radikalisme keagamaan memanfaatkan ruang terbuka ini unuk masuk secara aktif mengkampanyekan pahamnya dan memperluas jaringannya.
Kelompok-kelompok keagamaan yang masuk mulai dari yang ekstrem menghujat terhadap negara dan ajakan untuk mendirikan negara Islam, hingga kelompok Islamis yang ingin memperjuangkan penegakan syariat Islam.
Menurut Victor, rentannya pemuda terhadap aksi kekerasan dan terorisme patut menjadi keprihatinan bersama.
Banyak faktor yang menyebabkan pemuda terseret ke dalam tindakan terorisme, mulai dari kemiskinan, kurangnya pendidikan agama yang damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat kebangsaan, kurangnya pendidikan kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan tergerusnya nilai kearifan lokal oleh arus modernitas negatif.
"Apapun faktornya yang melatari, adalah tugas kita bersama untuk membentengi mereka dari radikalisme dan terorisme," katanya.
Dia kemudian mengusulkan beberapa hal yang patut dikedepankan dalam pencegahan terorisme di kalangan pemuda, pertama memperkuat pendidikan kewarganegaraan (civic education) dengan menanamkan pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Kedua, mengarahkan para pemuda pada beragam aktivitas yang berkualitas baik di bidang akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga.
Kegiatan-kegiatan positif ini akan memacu mereka menjadi pemuda yang berprestasi dan aktif berorganisasi di lingkungannya sehingga dapat mengantisipasi pemuda dari pengaruh ideologi radikal terorisme.
Ketiga, memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga pemuda tidak mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme.
Keempat, memberikan keteladanan kepada pemuda. Sebab, tanpa adanya keteladanan dari para penyelenggara negara, tokoh agama, serta tokoh masyarakat, maka upaya yang dilakukan akan sia-sia. Para tokoh masyarakat harus dapat menjadi role model yang bisa diikuti dan diteladani oleh para pemuda.
Sumber Berita : SAMOSIR GREEN Portal Berita Tapanuli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar