Brigjend Pol. (Purn) Victor E. Sinajuntak. (foto : Samosir Green)
Pria ini tak kurang dari 30 tahun mengabdi di korps Bhayangkara. Seiring berjalannya waktu, tipikalnya yang kalem tapi berani, akhirnya mengantarnya menjadi seorang polisi yang anti korupsi.
"Di Polri itu banyak polisi bersih," katanya seakan menepis tudingan miring selama ini terhadap korps-nya. Dan dia membuktikan itu. Sepak terjangnya terbilang nekad dalam pandangan awam, meski sebetulnya itu adalah normatif sebagai aparatus hukum saat menggebrak dalam kasus PT Pelindo II.
Brigjen Victor Simanjuntak, di ujung pengabdian sebagai penegak hukum pemberangus korupsi, ingin melakukan estafetasi pengabdian dalam ladang yang lebih luas. Dia menyasar posisi Sumut-1, yang akan dihelat pada 2018. Meski masih jauh, tapi kerja-kerja politik sudah dilakukan.
Sedikit beruntung saat bisa menyerap buah pikir, ide dan pengalaman sosok perwira tinggi itu dalam sebuah kesempatan baik, Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba 2016 di Parapat, Sabtu (20/8/2016) malam.
Victor ditemui di kedai kopi di sebuah sudut di Parapat, tak jauh dari dengusan air dan angin Danau Toba. Dalam temu singkat dan dalam suasana dekat, dia menutur beberapa agendanya, kelak jika bisa duduk di Sumut-1.
Dia rupanya, tipikal polisi yang lumayan banyak faham soal relasi politis pemerintahan, rakyat dan swasta, yang dia sebut sebagai sebuah negara. Dan dia faham bagaimana tali temali tiga unsur itu, harus dalam rajutan yang sinergis untuk membuahkan pembangunan harmonis berbuah manis untuk rakyat.
Dia bilang, negara dalam menjalankan pemerintahan itu harus melibatkan rakyat. Bukan berarti rakyat sebagai pelaku pemerintahan, tetapi rakyat bisa mengawasi dan mengontrol pemerintahan. Rakyat diberi porsi besar dan tidak malah dialienisasi.
Misalnya ada proyek-proyek di pemerintahan, rakyat melalui mahasiswa atau lembaga swadaya masyarakat yang ada bisa mengingatkan agar pemerintah transparan dan bertindak benar menjalankan kebijakan, termasuk kebijakan anggaran dan pengelolaannya, yang harus jauh dari praktik korupsi.
Kemudian pelibatan swasta. Sebagaimana diketahui bahwa APBD dan APBN memiliki keterbatasan dalam menggerakkan pembangunan. Lazim didengar, belanja rutin di sebuah daerah bisa mencapai 60-70 persen, sedangkan belanja pembangunan hanya 30 persen.
Belanja pembangunan 30 persen ini, porsinya kecil yang sebetulnya dananya untuk keperluan pembangunan dan bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat.
"Maka dalam posisi seperti itu, pemerintah harus mengajak swasta masuk ke dalam sistem," tukas Victor, yang mengaku sudah membentuk tim kerjanya menuju Sumut-1.
Swasta dengan kapital dan kemampuan yang dimilikinya, bisa menggerakkan pembangunan membantu pemerintah. Hanya saja, agar swasta mau masuk, pemerintah harus memastikan ada keuntungan yang bisa diperoleh swasta. Memastikan birokrasi yang bersih. Sebab jika birokrasi kotor dan tidak memberi keuntungan bagi swasta, swasta tidak akan mau masuk.
Dalam menjalankan roda pemerintahan juga, harus ada blue print yang jelas. Sebagai contoh, bagaimana membangun kawasan Danau Toba. Bukan Danau Toba yang dibangun, tetapi infrastruktur jalan misalnya menuju kawasan danau.
Sebab jika infrastruktur jalan dibangun, bukan hanya meningkatkan arus pariwisata tetapi bisa berkelindan pada dampak ekonomi masyarakat yang dilalui jalan tersebut.
Victor misalnya membandingkan bagaimana kasus konflik kepemilikan tanah di Lanud Soewondo di Sarirejo, Medan. Dulunya, tanah itu merupakan milik warga yang bermukim di sana. Karena tidak produktif, lalu lahan kemudian dipinjampakaikan kepada pihak lain, TNI-AU buat pengadaan bandara.
Belakangan, kepemilikan lahan diminta kembali oleh warga, namun ditolak oleh pihak yang menguasai sekian lama dimana kemudian terjadi konflik akibat klaim kepemilikan.
"Dulu mungkin dianggap tidak memiliki nilai ekonomis maka diberikan kepada pihak lain. Setelah sekian lama kemudian diminta kembali, apalagi nilai ekonomisnya tinggi. Namun kemudian terjadi konflik karena klaim kepemilikan," kata Victor, seraya menyebut hal serupa juga bisa terjadi di kawasan Danau Toba. Kelak lahan yang dikelola pihak lain di kawasan ini bisa jadi diklaim karena nilai ekonomisnya yang tinggi.
Itu terjadi, tegas Victor tak lain karena tidak adanya blue print pembangunan sebuah kawasan. "Jadi harus ada blue print pembangunan sebuah wilayah," kata pria yang lumayan memahami sepak terjang korporasi migas yang bermain di Tanah Air, hingga memahami puzzle mafia yang bercokol di industri migas kita.
Pria yang merupakan bintang satu di kepolisian itu kemudian memaparkan bagaimana jika dia menjadi seorang gubernur, akan melakukan pembersihan birokrat. Dia menilai birokrat yang kotor dan korup tidak akan bisa menjalankan pemerintah yang baik.
Dia mengaku tak akan segan-segan melakukan pencopotan tiga hingga lima kali dalam sehari terhadap pejabat di bawahnya yang dianggap korupsi dan kotor.
"Saya tak akan segan-segan mencopot pejabat yang korupsi dan kotor. Saya tidak mau menjalankan pemerintahan dengan birokrat yang kotor. Jadi kalau memang tidak ada lagi pejabat yang bersih, kita bisa saja angkat pejabat di bawah, misalnya eselon tiga menggantikan pejabat eselon dua yang kotor dan korupsi," tegasnya.
Teknisnya, ujar Victor, begitu hari pertama masuk kerja, akan kumpulkan seluruh pejabat dan meminta agar tidak korupsi dan diminta meneken perjanjian. Jika tidak mau silakan keluar atau pihaknya yang akan memecat.
Salah satu bentuk pembersihan praktik kotor di jajaran pemerintahan, kata Victor, pemerintah provinsi misalnya mengikuti sistem e-katalog dalam hal pengadaaan proyek-proyek, sebagaimana yang sudah diterapkan pemerintah pusat. Pemerintah di bawah tinggal menyesuaikan.
"Jadi kalau sudah ada e-katalog, dimana proyek-proyek yang bisa masuk sudah tertera. Kalau ada yang mau memasukkan proyek lagi, tak bisa, karena memang e-katalog transparan," kata Viktor.
Maka kelak, pameo yang selama ini dilekatkan kepada Sumut sebagai Semua Urusan Mesti Uang Tunai, akan berganti menjadi Semua Urusan Mudah dan Transparan.
Bicara program realistis selain pembenahan internal birokrasi, yang tentu mengait pada kepentingan rakyat secara langsung, Victor menyasar pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan dan usaha mikro, kecil dan menengah, yang memang merupakam sektor yang dominan di Sumut.
Dia menggagas, untuk bisa menghasilkan sebuah program baik dan pro rakyat atas sektor yang dia sebut, bisa saja diutus para ahli melakukan studi ke daerah maju, menyerap sistem misalnya, bagaimana mengembangkan sektor-sektor yang bersentuhan dengan rakyat itu.
Setelah diperoleh hasil studinya, kemudian disosialisasikan, dengan mengundang semua pihak yang ada, rakyat, akademisi, praktisi, LSM atau pihak mana saja untuk berargumentasi atau berdebat guna menguji apa yang layak diterapkan dengan basis hasil studi para ahli tadi.
Tapi rupanya, dalam porsi program yang dia benamkam dalam dirinya untuk dikerjakan dengan segera adalah soal pembersihan birokrasi korup. Perang terhadap korupsi merupakan agenda besarnya.
Bisa jadi, Victor belajar dari pengalaman dimana dua gubernur di Sumut masuk sel penjara karena dijerat KPK. Praktik korupsi, ibarat penyakit sudah masuk stadium akut di Sumut dan pemerintahannya.
"Kalau saya bisa lolos dari jebakan korupsi saat di kepolisian, alasan yang sama juga saya percaya bisa lolos dari jebakan korupsi kalau menjadi gubernur," kata pria berpenampilan santai saat ditemui. Tigor Munthe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar